RENUNGAN KHUSUS

RASA NYAMAN MEMBATASI PERTUMBUHAN ROHANI

“Tetapi semua orang yang menerima-Nya,

diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah,

yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya.”

Yohanes 1:12


Jika seseorang mengaku dengan mulutnya bahwa Yesus adalah Tuhan dan percaya dalam hatinya bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya secara pribadi, maka orang itu akan diselamatkan (Roma 10:9-10). Namun hendaknya kita tidak menganggap bahwa tahap ini adalah segalanya, seperti seorang mempelai wanita berkata kepada mempelai prianya, “Aku menerima engkau sebagai suamiku.” Ini merupakan tahap awal dari kehidupan berumah tangga. Janji nikah yang singkat ini suatu pernyataan penerimaan, namun dibutuhkan perjalanan seumur hidup untuk mengimplementasikan pernyataan itu.

Kata ‘menerima Yesus’ berarti orang percaya harus mengenal Tuhan Yesus secara lengkap dan utuh seperti yang tertulis secara utuh di dalam Injil. Untuk inilah dibutuhkan proses pendewasaan rohani (Sanctification). Kata ‘menerima’ dalam bahasa Yunani ‘Lamvano’ yang memiliki arti ‘mencengkeram’ yaitu merupakan proses yang berkesinambungan atau terus menerus. Jadi orang yang telah menerima Tuhan Yesus harus terus menerus belajar mengenal-Nya secara lengkap dan utuh.

Pengajaran hyper grace menyatakan ketika seseorang menerima Yesus maka ia menganggap seluruh proses keselamatan itu sudah selesai pada dirinya. Bagi mereka, inilah rasa nyaman sesungguhnya, padahal itu salah. Rasa nyaman seperti ini akan menghalangi pertumbuhan rohani, membuat mereka tidak lagi memiliki keinginan untuk mengerjakan keselamatan yang sudah Allah berikan. Padahal di dalam Filipi 2:12 jelas dikatakan bahwa, “…karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir.”

Di bawah ini ada beberapa contoh tokoh Alkitab yang mengalami rasa nyaman:

Abraham Meninggalkan Rasa Aman

Kejadian 12:1, “Berfirmanlah Tuhan kepada Abram: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu”.

Abraham diperintahkan oleh Tuhan untuk pergi dari negerinya ke satu tempat yang baru. Dia tidak tahu kemana dia harus pergi, tetapi dia tahu siapa yang menyuruh dia untuk pergi. Saat itu Abraham adalah seorang tuan tanah di Ur-Kasdim, memiliki banyak ternak dan budak-budak. Banyak orang Kristen berpikiran lain terhadap keputusan Tuhan, sehingga mereka bertanya: “Mengapa dia memilih keluar dari kenyamanan dan memulai petualangan baru di usia 75 tahun, padahal dia sudah tidak muda lagi?” Namun apa yang dilakukan Abraham? Dia tetap meninggalkan kehidupannya yang nyaman, untuk memulai sebuah perjalanan iman.

Abraham adalah contoh orang yang demi menggenapi rencana Tuhan, berani menempuh perjalanan hidup yang penuh tantangan.

Daud Mempertahankan Rasa Nyaman

Ketika tentaranya berperang dengan sengit, Raja Daud malah menikmati rasa nyaman dalam hidupnya dengan tetap tinggal di istana (2 Samuel 11:1-13). Dengan kedudukannya sebagai raja, apapun yang menjadi keinginan Daud, bisa diperolehnya. Rasa nyaman telah membuat Daud lupa pada keadaannya yang sebenarnya. Bukan hanya itu; rasa nyaman pun membuat Daud lupa pada tanggung jawabnya sebagai raja untuk memimpin peperangan. Pada zaman itu merupakan hal yang biasa seorang raja harus maju ke medan perang bersama pasukannya. Bahkan, kalaupun dia tidak maju ke medan perang, seharusnya dia berdoa dan mempersembahkan korban untuk bangsanya dan pasukannya yang sedang berada di medan perang.

Apakah yang dapat kita pelajari dari kedua contoh di atas? Dalam hidup kita, mungkin saja kedua hal tersebut bisa terjadi. Rasa nyaman muncul bila kita berpikir bahwa semua sudah dilakukan oleh Tuhan Yesus, dan karenanya kita tidak perlu melakukan apa-apa lagi (tidak perlu Sanctification). Keadaan yang seperti itu sangat berbahaya. Rasa nyaman adalah suatu keadaan yang berbahaya yang akan menuntun kita kepada gaya hidup santai, menurunkan kewaspadaan (tidak berjaga-jaga) bahkan melemahkan stamina rohani. Rasa nyaman sejati hanya kita dapatkan saat kita melakukan sesuatu sesuai kehendak Tuhan.

“Tidak ada yang salah dengan menikmati zona nyaman kita. Tetapi kalau kita terus menerus berada dan menikmati rasa nyaman itu bisa membuat kita menjadi statis. Keberadaan kita sebagai anak-anak Allah jangan membuat kita menjadi statis dengan tidak mau melakukan apa-apa. Kehidupan rohani yang statis dapat membahayakan keselamatan.” (FB)

Quote:

Marilah kita memulai sebuah perjalanan rohani

dari zona nyaman (comfort zone)

ke zona iman (faith zone)


Silakan share :