Renungan Khusus

Tetap Taat Tetap Sukacita


Hari-hari ini kita melihat sebuah fenomena di mana tujuan hidup seseorang adalah menemukan kembali kesadaran akan identitas unik pribadinya, tanpa dibatasi oleh norma atau apapun yang dikatakan oleh pihak luar. Tema yang utama dalam hidup adalah mengejar kegembiraan (happiness) dengan mengikuti kata hati dan jati diri sendiri dan melawan siapapun yang menghalanginya: lingkungan keluarga, gereja dan masyarakat. Orang terobsesi untuk mencapai apa yang disebut dengan self fulfilment. Bagi mereka yang disebut sebagai “dosa” adalah kegagalan meraih potensi diri yang maksimal. Perasaan bersalah muncul ketika seseorang gagal menerima dirinya sendiri, gagal mencintai dirinya sendiri atau gagal merasakan kegembiraan sebagai haknya; bukan karena melanggar ketetapan Tuhan.

Tidaklah mengherankan apabila budaya populer hari-hari ini membombardir pikiran banyak orang untuk anti terhadap segala bentuk norma dan ketaatan yang dipandang sebagai “penghambat potensi pribadi”. Sehingga ketaatan selalu dilakukan dengan terpaksa, semata-mata hanya karena sebuah keharusan. Demikian pula halnya dalam kehidupan persekutuan umat Tuhan di gereja, tawaran “menjadi diri sendiri” (be your self) seringkali lebih menarik dibandingkan dengan “taat dan tunduk” kepada pihak lain, termasuk kepada otoritas rohani.

Sesungguhnya pencarian akan self fulfilment adalah sebuah ilusi, karena pada dasarnya kita tidak bisa hidup tanpa berada dalam suatu aturan dan tatanan. Sebagai contoh; walaupun orang ingin merdeka tetapi kita tetap akan terikat oleh salah satu hukum, misalnya hukum alam.

Contoh: Kita akan merasa tidak nyaman berkendara di jalan raya tanpa menaati rambu-rambu lalu lintas. “Tidak ada kemerdekaan tanpa keterikatan.”

Apa yang Firman Tuhan katakan tentang ketaatan kepada otoritas rohani?

  1. Keteladanan Tuhan Yesus

    “Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya,” Ibrani 5:8

    Yesus adalah teladan kita dalam hal ketaatan kepada otoritas rohani.
    Di dalam hidup yang tanpa dosa, Dia menjalani proses “belajar” untuk taat kepada Bapa di sorga (Mar 14:36; Luk 22:42).

    Sikap belajar untuk taat ini adalah cerminan sifat manusiawi dari Yesus, yang berarti sikap ini dapat dan harus kita teladani. Jika Yesus sebagai manusia bertambah dewasa lewat ketaatan, pastilah kita pun harus melewati jalan yang sama dalam proses pengudusan (sanctification) kita.

  2. Ketaatan kepada Otoritas Rohani adalah Perintah Tuhan

    “Taatilah
    pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu.”
    Ibrani 13:17

“Pemimpin” yang dimaksud dalam ayat ini adalah pemimpin rohani di dalam gereja; mereka yang “berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya”. Tuhan memerintahkan ketaatan kepada pemimpin gereja bukan karena alasan birokrasi, melainkan supaya kepemimpinan berjalan di dalam keteraturan dan sukacita sehingga kita yang dipimpin memperoleh “keuntungan”. Istilah “tidak akan membawa keuntungan” sesungguhnya adalah satu kata di dalam bahasa Yunani (alysiteles), yang berarti dapat membahayakan (harmful) atau dapat melukai (hurtful). Tanpa penundukan diri, sesuatu yang membahayakan atau melukai dapat terjadi atas kita.

Tentu kita harus menyadari ada batas dalam menaati pemimpin rohani yaitu selama pemimpin rohani tersebut tidak melanggar firman Tuhan. Dalam kondisi ini kita harus tetap menghormati pemimpin tersebut.

  1. Ketaatan Vertikal Terbukti Melalui Ketaatan Horisontal

    Ketaatan kita kepada Tuhan dan Firman-Nya, membawa kita untuk juga mentaati pemimpin-pemimpin kita. Ketaatan yang vertikal pastilah menghasilkan ketaatan yang horisontal. Perhatikan betapa kuatnya Alkitab berbicara tentang mengikuti teladan atau menjadi pengikut (immitator, peniru) dari otoritas rohani kita:

    “Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!”
    1 Kor 4:16

    “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.”
    1 Kor 11:1

    Meskipun otoritas rohani adalah manusia yang tidak sempurna, kita tetap diminta untuk mengikuti teladan mereka. Hal ini mungkin bertentangan dengan logika kebanyakan orang. Mengapa demikian? Karena proses tersebut menghasilkan buah ketaatan yang terbaik di mata Tuhan, di mana sebenarnya kita sedang mengandalkan kasih karunia Tuhan; bukan kekuatan manusia.

  1. Ketaatan Menghasilkan Sukacita

    Tuhan tidak meminta kita untuk taat seperti robot, taat dengan terpaksa karena tidak punya pilihan ataupun taat tanpa kasih. Ketaatan yang seperti itu sesungguhnya bukanlah ketaatan yang Alkitabiah. Sekalipun kita memiliki kebebasan untuk memilih tidak taat, namun kita memilih untuk taat karena mengasihi Tuhan.

    “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.” Yohanes 15:10-11

Jadi hidup dalam ketaatan yang digambarkan oleh dunia sebagai penghambat potensi pribadi, sama sekali tidaklah benar. Sebaliknya, ketaatan akan mendatangkan sukacita yang penuh. Sukacita dan kebebasan yang diperoleh tanpa hidup dalam ketaatan adalah suka cita yang semu. Sukacita yang sejati diperoleh dari hidup di dalam ketaatan. (HDT)

Sumber : Warta Pusat HMMinistry



 

Silakan share :