Renungan Khusus

 Minggu Ketiga Januari 2022

 

Gembala Sidang kita, Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo telah mendeklarasikan bahwa tahun 2022 adalah “Tahun Paradigma yang Baru” atau “The Year of a New Paradigm.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘paradigma’ berarti suatu ‘model/contoh’ dan juga berarti ‘kerangka berpikir’.

Yang mungkin menjadi pertanyaan selanjutnya untuk kita adalah: Paradigma baru di dalam hal apa sajakah yang harus terjadi di dalam kehidupan kita sebagai orang percaya yang memiliki kehidupan sosial di bumi ini?

 

Paradigma Baru di Dalam Tujuh Gunung

Firman-Nya: “Janganlah ingat-ingat hal-hal yang dahulu,  dan janganlah perhatikan hal-hal yang dari zaman purbakala!  Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya?  Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara.  Binatang hutan akan memuliakan Aku, serigala dan burung unta,  sebab Aku telah membuat air memancar di padang gurun  dan sungai-sungai di padang belantara,  untuk memberi minum umat pilihan-Ku;  umat yang telah Kubentuk bagi-Ku akan memberitakan kemasyhuran-Ku.Yesaya 43:18-21

 

Gembala Sidang kita, Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo telah mendeklarasikan bahwa tahun 2022 adalah “Tahun Paradigma yang Baru” atau “The Year of a New Paradigm.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘paradigma’ berarti suatu ‘model/contoh’ dan juga berarti ‘kerangka berpikir’.

Yang mungkin menjadi pertanyaan selanjutnya untuk kita adalah: Paradigma baru di dalam hal apa sajakah yang harus terjadi di dalam kehidupan kita sebagai orang percaya yang memiliki kehidupan sosial di bumi ini?

 

Dalam 2 Samuel 5 dan 6, kita mendapatkan kisah Daud membawa Tabut Perjanjian, yang adalah lambang kehadiran Allah; ke Yerusalem.

Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan berkomentar bahwa ketika Daud mengangkut Tabut Perjanjian ke Yerusalem, ia mengubah kota tersebut menjadi pusat penyembahan dan ibu kota Israel. Ia menetapkan ibadah kepada Tuhan sebagai prioritas tertinggi Israel. Ia merestorasi bentuk penyembahan yang lama dengan bentuk yang baru. Perubahan paradigma di dalam penyembahan kepada Tuhan ini dapat menjadi suatu acuan bahwa perubahan paradigma pun dapat terjadi di segala aspek kehidupan orang percaya.

 

Mari kita tarik mundur pengertian kita tentang paradigma yang baru ke kisah awal penciptaan. Philip Graham Ryken Ph. D, seorang teolog dari Amerika Serikat dan rektor dari Wheaton College; sebuah universitas Kristen, di dalam bukunya “What is The Christian Worldview?” menuliskan bahwa sejak awal penciptaan, Tuhan menciptakan manusia segambar dan serupa dengan Allah dengan tujuan agar manusia menguasai dan mengelola taman Eden sambil mereka menikmati hubungan yang intim dengan Allah.

Hal ini kita kenal dengan sebutan Mandat Penciptaan/Creation Mandate. Semua hal diciptakan Tuhan baik adanya, dan manusia diperintahkan untuk mengembangkan segala sumber daya yang ada secara maksimal agar manusia dapat menyatakan siapa Allah sebenarnya dan memenuhi bumi dengan kemuliaan-Nya. (Kejadian 2:15)

 

Dengan adanya mandat ini, manusia; secara khusus orang percaya, diperintahkan untuk menguasai bidang-bidang kehidupan dengan cara memberikan dampak sosial di bumi ini.

Dr. Bill Bright, pendiri dari gerakan Campus Crusade for Christ, dan Loren Cunningham, pendiri dari gerakan Youth With A Mission, pada saat yang hampir bersamaan menerima sebuah pewahyuan dari Tuhan mengenai bidang-bidang di mana orang percaya harus memberikan dampak, yang dikenal dengan sebutan The Seven Mountains of Influence/Ketujuh Gunung Pengaruh.  Dalam perkembangan selanjutnya, ‘Tujuh Gunung’ ini dikenal dengan istilah ABCDEFG, yaitu:

  1. Arts and Entertainment – Seni dan Hiburan
  1. Business – Bisnis
  2. Church – Gereja
  3. Development of the Poor – Pelayanan kepada   orang-orang miskin
  1. Education – Pendidikan
  2. Family – Keluarga
  3. Government – Pemerintahan

 

Lalu apakah kaitan antara Daud membawa Tabut Perjanjian Allah ke Yerusalem dengan ketujuh gunung pengaruh tersebut? Untuk diketahui, Yerusalem yang sebelumnya adalah kota ‘sekuler’ milik orang Yebus dan secara geografis, di 7 gunung. Ia menjadi kota Allah, yang sering disebut sebagai Sion. Oleh sebab itu, seluruh bidang kehidupan di kota Yerusalem, bukan hanya di Tabut saja, ada dalam atmosfer ilahi. Saat Raja Daud masuk ke kota Yerusalem, ia bukan saja sedang merestorasi bentuk penyembahan kepada Tuhan. Melainkan, ia juga sedang merestorasi bidang-bidang kehidupan lain yang dapat ditafsirkan sebagai ketujuh bidang yang disebutkan di atas.

 

Dalam Yesaya 43:18, Tuhan berfirman agar umat-Nya tidak lagi mengingat hal-hal yang dulu, artinya, bahkan kesuksesan yang pernah terjadi sebelumnya. Mengapa? Karena Tuhan akan memberikan hal-hal yang baru bagi umat-Nya, yaitu suatu kerangka berpikir baru agar umat-Nya dapat memberikan dampak di dalam bidang-bidang kehidupan di bumi ini.

Bagaimana caranya agar kerangka berpikir baru ini dapat memberikan dampak atau pengaruh bagi 7 gunung ini? Mari kita perhatikan kisah mengenai Stefanus, salah satu dari 7 orang yang dipilih oleh para rasul untuk melayani orang miskin, seorang yang penuh Roh dan hikmat. (Kisah Para Rasul 6:1-7)

 

Kelihatan pada awalnya sepertinya tugas yang diberikan kepada Stefanus ini sama sekali tidak bersifat spiritual. Namun, Stefanus dipilih karena ia penuh dengan Roh dan hikmat. Stefanus tidak dipilih untuk mengajar Firman atau untuk suatu tugas misi memberitakan Injil, tetapi Tuhan memakai Stefanus secara luar biasa di antara orang-orang yang dia layani. Dapat dikatakan bahwa Stefanus menemukan panggilan ilahi di tengah-tengah pekerjaan sehari-harinya. Karena penuh dengan Roh, bahkan Stefanus mengadakan banyak mukjizat dan tanda di antara orang banyak. (Kisah Para Rasul 6:8)

Di tengah-tengah keadaan ini, tetap saja ada orang-orang yang menentang Stefanus. Namun, Alkitab mencatat bahwa “mereka tidak sanggup melawan hikmatnya dan Roh yang mendorong dia berbicara”. (Kisah Para Rasul 6:10)

Stefanus berjalan dalam kuasa Roh dan ia membuat dampak yang besar bagi orang-orang di sekitarnya. Ia percaya bahwa ia dipanggil untuk membuat perubahan di bidang di mana ia ditempatkan.

 

Dari kisah Stefanus kita dapati bahwa kita dapat membuat suatu restorasi di bidang di mana kita ditempatkan, saat kita berjalan di dalam kuasa Roh Kudus. Dengan kuasa tersebut, sama seperti Daud, kita dipakai ‘membawa’ hadirat Allah ke setiap bidang kehidupan di bumi, yang diwakili oleh ketujuh bidang kehidupan di atas. Membawa hadirat Allah dapat berarti menghadirkan doa, pujian penyembahan, mengimpartasikan nilai-nilai ilahi dari Kerajaan Allah, atau membawa otoritas yang disertai hikmat ilahi di marketplace.

 

Di era Pentakosta Ketiga saat ini, kita percaya bahwa Roh Kudus sedang dicurahkan secara luar biasa bagi anak-anak Tuhan menjelang kedatangan Kristus yang kedua kali ke dunia. Oleh sebab itu, kita percaya bahwa pemberdayaan ilahi ini bukan saja akan mempengaruhi gereja Tuhan secara khusus, tetapi juga akan membawa pengaruh bagi dunia secara umum, sebagaimana kita sebagai orang percaya, diutus Tuhan “seperti domba ke tengah-tengah serigala.” (Matius 10:16)

 

Tuhan Yesus dalam Amanat Agung-Nya, memanggil setiap orang percaya untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya. Kita pun dipanggil untuk membawa hadirat Tuhan dan membawa perubahan/pengaruh di dalam pekerjaan, keluarga, tempat pendidikan, media, tempat seni dan hiburan, pelayanan kepada kaum marginal, bahkan di pemeritahan kita.

Kita harus yakin bahwa melalui pemberdayaan Roh Kudus, kita dilengkapi dan dimampukan untuk membawa perubahan, pengaruh dan dampak di ketujuh aspek tersebut. Dengan demikian, terjadilah suatu perubahan paradigma yang akan membawa setiap jiwa-jiwa untuk semakin mengenal pribadi Kristus. Kita percaya bahwa inilah kerinduan Tuhan, yaitu saat Kerajaan-Nya menjadi nyata di dunia ini. Pertanyaannya, sudah siapkah kita menjadi agen perubahan paradigma baru? (WP)

 

https://www.the7mountains.com/history-of-the-7-mountains diakses pada 23 Desember 2021 pk.21.20 WIB.  Terdapat perbedaan penamaan awal ketujuh gunung ketika pertama kali dikumandangkan pada tahun 1975 dengan versi yang terkemudian. Secara essensi tidak ada perubahan signifikan dari ranah yang hendak dijangkau.

Niko Njotorahardjo, Mujizat Masih Ada: The Works of the Holy Spirit in Indonesia through the Healing Movement Ministry (Jakarta: Divisi Pengajaran, 2013), hlm 281-282.

 

Silakan share :