Renungan Khusus
Minggu Keempat Januari 2021
Sebuah ungkapan mengatakan, jika kita ingin belajar, belajarlah dari ahlinya! Salah satu makna dalam kalimat singkat ini menyiratkan sebuah totalitas dalam belajar.
Yesus Kristus Teladan Dalam Kesucian Hati
Sebuah ungkapan mengatakan, jika kita ingin belajar, belajarlah dari ahlinya! Salah satu makna dalam kalimat singkat ini menyiratkan sebuah totalitas dalam belajar. Jika ingin belajar jangan tanggung-tanggung, jangan setengah-setengah. Dengan kata lain kita harus belajar dari mereka yang telah menguasai; bukan hanya teori, melainkan telah mempraktekkan atau menghidupi apa yang diajarkannya.
Dalam Tahun Integritas (The Year of Integrity) ini kita perlu belajar untuk memiliki kemurnian/kesucian hati, mengingat salah satu pengertian integritas adalah ‘bersih tangan’ dan ‘murni hati’ (Mazmur 24:4). ‘Murni/Suci’ atau tulus (Ibr. bar) dalam konteks Mazmur 24:4 memiliki arti bahwa dalam diri orang tersebut tidak ada motivasi yang salah, alias bersih.
‘Bersih tangan’ lebih menunjuk pada area eksternal atau tindakan yang terlihat, sedangkan ‘murni/suci hati’ lebih menunjuk kepada internal atau keadaan hati. Orang yang tulus hati tidak akan mencari pujian buat dirinya sendiri. (Amsal 27:2)
Jika kita ingin belajar tentang kemurnian/kesucian hati, kita harus belajar dari ahlinya, The Man of Integrity, yakni Tuhan Yesus. Dalam konteks pembelajaran ini yang patut kita ingat adalah bahwa Tuhan Yesus bukanlah sebagai objek pembelajaran, melainkan sebagai Guru yang Agung dan teladan kita dalam hal kesucian hati.
Tentunya begitu banyak hal yang dapat kita pelajari dan teladani dari kehidupan Yesus, baik melalui perkataan-Nya, perbuatan-Nya, sikap dan respon-Nya terhadap pihak-pihak yang menghendaki kematian-Nya. Mari kita pelajari beberapa hal berikut di bawah ini:
1. TIDAK ADA MOTIVASI YANG SALAH
a. Pembuktian diri melalui ketaatan akan Firman dan Perintah TUHAN (Matius 4:1-11)
Perikop di atas memuat peristiwa yang dialami oleh Tuhan Yesus dalam masa pra pelayanan-Nya. Setelah berpuasa selama empat puluh hari, datanglah Iblis mencobai Tuhan Yesus. Ada tiga bentuk pencobaan yang dilakukan oleh Iblis di mana dua diantaranya dimulai dengan kalimat: “Jika Engkau Anak Allah…” (Matius 4:3,6). Ini adalah salah satu pencobaan untuk pembuktian diri, yang disampaikan dengan kalimat pertanyaan ‘keraguan’ Iblis akan eksistensi Yesus.
Dari jawaban yang disampaikan Tuhan Yesus jelas sekali terungkap bahwa Yesus menganggap tidak perlu “membuktikan” diri-Nya kepada iblis dengan mengikuti apa yang menjadi kehendak Iblis untuk mengubah batu menjadi roti (ayat 3) atau menjatuhkan diri dari atas bubungan bait Allah (ayat 6). Tuhan Yesus menyatakannya dengan menunjukkan ketaatan-Nya kepada perintah Allah yang tertulis dalam firman TUHAN.
Berapa banyak kita jumpai orang-orang yang menganggap adalah sebuah keharusan untuk membuktikan kepada banyak orang bahwa mereka adalah “hamba Tuhan yang diurapi”, “pribadi yang dipakai Tuhan secara khusus” sehingga dalam setiap brosur atau spanduk kegiatan yang dilaksanakan foto diri atau tulisan nama mereka dengan titel yang lengkap jauh lebih menonjol dibandingkan dengan tulisan nama dan gambar Tuhan Yesus yang bahkan tidak jarang malah tidak pernah ditampilkan.
Mengikuti teladan Tuhan Yesus dalam hal kesucian hati, dalam konteks ini tidak memiliki motivasi yang salah bukanlah dengan ‘pembuktian’ melalui kehebatan pelayanan kita, melainkan dengan ketaatan kita akan perintah dan kehendak-Nya. (Matius 4:4,7; 7:21-23)
b. Motivasi dalam melayani adalah belas kasihan akan jiwa-jiwa (Matius 9:35-36)
“Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan. Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.”
Membaca ayat tersebut di atas, mengutip istilah yang digunakan oleh generasi Yeremia zaman Now adalah “no caption needed”. Sebab telah tergambar dengan jelas bahwa motivasi Tuhan Yesus dalam melayani adalah belas kasihan akan jiwa-jiwa yang lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. Kalau motivasi kita apa? Ingin dikenal dan terkenal (popularitas)? Harta atau kekayaan? Penghargaan atau respek dari orang lain? Marilah kita teladani Tuhan Yesus.
c. Tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri (Matius 10:7-8)
“Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat. Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.”
“Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.” ‘Matthew Henry’s Commentary on whole Bible’ memberikan catatan yang sangat menarik terkait ayat ini. Dikatakan bahwa orang yang memiliki kuasa untuk menyembuhkan segala penyakit pasti mempunyai kesempatan untuk memperkaya diri sendiri; sebab siapa yang tidak mau berobat kepada orang yang pasti bisa menyembuhkan penyakit apapun yang mereka derita?
Oleh karena itu, mereka diperingatkan untuk tidak mencari keuntungan dari kuasa yang mereka miliki untuk mengadakan mujizat-mujizat ini. Mereka harus menyembuhkan dengan cuma-cuma, untuk memperlihatkan lebih jauh sifat dari Injil Kerajaan, yang bukan hanya terdiri atas anugerah saja, melainkan anugerah yang diberikan dengan cuma-cuma. Alasannya adalah karena kita telah memperolehnya dengan cuma-cuma.
Kuasa yang diberikan kepada mereka untuk menyembuhkan orang sakit tidak menuntut bayaran apa-apa dari mereka, karena itu mereka tidak boleh mencari keuntungan duniawi dari kuasa itu bagi diri mereka sendiri.
Simon si tukang sihir itu tidak akan menawarkan uang untuk membeli karunia-karunia Roh Kudus jika dia tidak berharap untuk mendapatkan uang dengan memiliki karunia-karunia itu. (Kisah Para Rasul 8:18)
Perhatikanlah, perbuatan baik yang dilakukan Kristus kepada kita dengan cuma-cuma seharusnya membuat kita juga berbuat baik kepada orang lain dengan cuma-cuma.
2. TIDAK MENCARI PUJIAN BAGI DIRI SENDIRI
a. Melakukan Ibadah bukan untuk publikasi/ketenaran (Matius 6:1-7)
Dalam salah satu bagian dari khotbah Tuhan Yesus di bukit, Ia mengajarkan mengenai hal memberi sedekah dan berdoa. (Matius 6:1-7)
Apa yang Tuhan Yesus ajarkan terkait dua pokok pengajaran ini sangat kontras sekali dengan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang munafik yang biasanya memberi sedekah, beribadah, berdoa dengan motivasi agar dilihat orang (ayat 5) dan mencari pujian bagi diri sendiri (ayat 2).
Sebaliknya, Yesus mengajarkan agar dalam memberi dan dalam berdoa dilakukan tanpa spotlight, “tanpa sorotan kamera”, tanpa publikasi agar diketahui orang, tapi cukup diri kita dan Bapa kita di Sorga yang mengetahuinya.
b. Tidak mengejar pujian dan promosi (Matius 9:30-31)
“Maka meleklah mata mereka. Dan Yesus pun dengan tegas berpesan kepada mereka, kata-Nya: “Jagalah supaya jangan seorang pun mengetahui hal ini.” Tetapi mereka keluar dan memasyhurkan Dia ke seluruh daerah itu.”
Dalam peristiwa yang dinyatakan dalam ayat ini kita dapat dengan jelas mengetahui bahwa Tuhan Yesus tidak menyuruh mereka yang telah disembuhkan untuk mempromosikan diri-Nya. Bahkan dengan tegas Tuhan Yesus berpesan agar jangan seorang pun mengetahui hal tersebut. Namun sukacita dan rasa syukur yang meluap karena pertolongan dan kasih TUHAN yang telah dialami mendorong orang-orang yang telah disembuhkan itu memasyurkan Tuhan Yesus ke seluruh daerah itu. Promosi dan pujian tidak perlu dicari-cari. Janganlah pelayanan yang kita lakukan, kita lakukan demi mengejar pujian dan kemasyuran dari orang-orang yang kita layani.
c. Pengagungan dan penghormatan datang dari orang lain, bukan dari diri sendiri (Matius 17:9)
“Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka: “Jangan kamu ceriterakan penglihatan itu kepada seorang pun sebelum Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati.”
Petrus, Yakobus dan Yohanes adalah saksi mata dari sebuah peristiwa yang luar biasa bagaimana Tuhan Yesus dimuliakan, mengalami transfigurasi serta mendapat ‘kunjungan’ dari Musa dan Elia. Dapatkah kita membayangkan betapa dahsyatnya pengalaman tersebut? Bagaimana mereka dengan mata kepala sendiri melihat dua tokoh yang hidup dan melayani jauh sebelum mereka, yakni dari zaman nenek moyang mereka; nampak di depan mata. Dan kedua tokoh hebat tersebut terlihat sedang berbincang dengan Tuhan Yesus seperti sedang mendiskusikan sesuatu.
Hari itu mereka makin diteguhkan, Tuhan Yesus yang mereka ikuti sebagai guru mereka adalah Pribadi yang istimewa! Hal ini disaksikan bukan hanya oleh Petrus atau Yakobus atau Yohanes secara terpisah, melainkan oleh ketiganya secara bersama-sama. (Ulangan 17:6; 19:15; Matius 18:16; 2 Korintus 13:1; 1 Timotius 5:19: Ibrani 10:28)
Tuhan Yesus bisa saja menyuruh ketiganya memberikan kesaksian dan memberitakan peristiwa tersebut kepada orang-orang Yahudi dan ahli Taurat sebagai legitimasi atas berita Kerajaan Allah yang dibawa oleh Tuhan Yesus pada masa sebelum Yesus mati, sehingga mendatangkan pujian bagi diri-Nya dan memperkecil resistensi dari para ahli Taurat. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh Tuhan Yesus.
MENGAMPUNI KESALAHAN DAN DOSA
Tuhan Yesus mengajarkan tentang kasih. Kasih memiliki implementasi yang sangat luas untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari hari, salah satunya adalah dalam hal pengampunan.
Dalam Matius 5:38-48 Tuhan Yesus mengajarkan agar kita:
- jangan melawan orang yang berbuat jahat, memberikan pipi kiri kepada siapapun yang menampar pipi kanan, memberikan lebih dari apa yang dituntut oleh orang lain,
- jangan menolak orang yang mau meminjam,
- mengasihi musuh serta mendoakan mereka yang menganiaya.
Dalam bagian yang lain Tuhan Yesus juga mengajarkan tentang pengampunan yang tanpa batas (Matius 18:21-35).
Semua yang Tuhan Yesus ajarkan tersebut di atas bukanlah sekedar teori semata, melainkan praktek hidup yang dijalani oleh Tuhan Yesus yang harus kita teladani.
Setelah melalui vonis hukuman tanpa pembuktian, setelah penghinaan dan segala macam siksa dan aniaya yang Ia terima melalui cambukan, mahkota duri, memikul salib dengan puncaknya adalah penyaliban. Tuhan Yesus berkata:
“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
(Lukas 23:34).
Dengan mengampuni kesalahan orang-orang yang bersalah kepada kita membuat kita senantiasa memelihara kesucian hati.
Di tahun 2021 ini, marilah kita teladani Tuhan Yesus, Man of Integrity dalam hal kemurnian/kesucian hati dengan memiliki motivasi yang benar, tidak mencari pujian bagi diri sendiri serta mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Tuhan Yesus memberkati. Maranatha! (DL)
Sumber : Warta Pusat HMMinistry