SIKAP Gereja Bethel Indonesia

Terhadap Isu Pernikahan Sesama Jenis

dan Isu LGBT (Lesbi, Gay, Bi-Sexual, Transgender)


A. Mukadimah Mendasar :

  1. GBI adalah Gereja yang mengakui bahwa Alkitab sepenuh firman Allah, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang dengan demikian sebagai sumber berteologi dan tutunan mutlak di dalam pengambilan keputusan etis dan perilaku.
  2. GBI mempercayai bahwa akibat dosa, maka peta dan teladan Allah bagi manusia telah rusak, dan karena ia berdosa, mengalami keterbatasan dan sakit penyakit. Untuk itu ia membutuhkan kelahiran baru dengan mengakui dosa-dosanya, bertobat dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.
  3. GBI adalah gereja pentakostal/neo-pentakostal yang tradisinya didasarkan kepada keyakinan akan pimpinan Roh Kudus masa kini yang memampukannya memuliakan Allah didalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam hal memampukan orang percaya menaklukan keinginan daging (termasuk hasrat sexual diluar konteks pernikahan dan praktek homoseksual).
  4. GBI mempercayai akan kuasa darah Yesus yang dapat menyembuhkan dan menyucikan setiap orang yang memiliki masalah sakit penyakit adalah hal yang Alkitabiah.
  5. GBI meyakini bahwa kemajuan zaman dengan segala persoalannya telah menimbulkan banyak disfungsi pada tatanan penciptaan dan persoalan-persoalan yang tak pernah terpikirkan oleh para penulis Alkitab, namun untuk kasus-kasus seperti transjender, surrogate (pinjam Rahim orang lain) bayi tabung, dll, GBI mempercayai bahwa refleksi teologis dapat diusahakan pada prinsip-prinsip normative akan seksualitas yang diordinasi Allah dan tradisi kekristenan universal, khususnya di kalangan pentakostal.

B.    Sikap Teologis, Pelayanan dan Keterkaitan dengan Kepejabatan

1.    Sikap Teologis


Berdasarkan mukadimah dasar diatas, maka GBI menyatakan sikap teologis yang menolak praktek LGBT dan pernikahan sejenis (same-sex marriage) dengan alasan sebagai berikut:

  1. Bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan bukan sekedar keragaman ciptaan tetapi merupakan pasangan yang diordinasi untuk maksud pro-kreasi (meneruskan keturunan).
  2. Bahwa Allah menciptakan bentuk kelamin dan fungsi seksual masing-masing pada pria dan wanita, untuk maksud yang dirancang Allah sebagai pasangan untuk melakukan persetubuhan didalam konteks pernikahan. Maka definisi persetubuhan dalam rancangan Allah adalah antara seorang pria dan seorang wanita. Diluar ini, Alkitab memandang sebagai kekejian: “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian” (Im.18:22)
  3. Bahwa karena dosa, dunia bukan saja menjadi buruk tetapi menimbulkan penyakit dan kerusakan orientasi seksual manusia. Oleh karena itu, ketertarikan seseorang kepada sesama jenisnya adalah akibat dosa dan bukanlah rancangan awal Allah. Dan dosa ini adalah salah satu yang didaftarkan Paulus di dalam Roma “….sebab istri-istri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar, demikianlah suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan istri mereka…sehingga melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki…” (Roma 1:26-27)
  4. Bahwa GBI juga menolak perkawinan sejenis, karena pembuat hukum perkawinan itu adalah Allah Pencipta, yang harus ditaati oleh manusia ciptaan-Nya. Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya sebagai laki-laki- dan perempuan (Kej.1:27), ini ditegaskan ulang oleh Yesus ketika berbicara tentang perkawinan (Mat.19:4-6). manusia tidak dapat membatalkan ketetapan Allah itu berdasarkan voting suara terbanyak. Pernikahan Kristen itu bersifat monogamy, seumur hidup dan heteroseksual. Dengan demikian hubungan dan perkawinan homoseksual ataupun bi-seksual ditolak.
  5. Allahlah yang mendefinisikan perkawinan yaitu heteroseksual jauh sebelum Negara ada. Negara bisa saja mengakomodir praktek-praktek hidup dan perkawinan sesuai dengan roh zaman dan Negara sebagaimana biasanya tidak menaruh perhatian kepada teologis. Namun orang Kristen yang mengakui sepenuhnya ordinasi perkawinan heteroseksual, lebih tunduk kepada Allah dan firmanNya ketimbang kepada hukum dan ketetapan Negara.
  6. Mengendalikan hasrat seksual (baik dalam kasus LGBT) maupun non LGBT) adalah bagian dari disiplin rohani, tak terkecuali dalam konteks dimana kaum LGBT “tak tersembuhkan”. Dalam hal ini, sama seperti kita pada umumnya dipanggil untuk menyalibkan segala keinginan daging yang berdosa, maka tak terkecuali kaum LGBT yang “tak tersembuhkan” juga diharapkan dapat mengenakan Kristus dan memohon anugerah Allah untuk memampukannya tidak mempraktekkan perbuatan dosa seksual sesama jenis.

2.    Tindakan dan Pelayanan Pastoral


Pernyataan teologis dalam implementasi tindakan dan pelayanan pastoral terhadap kaum LGBT adalah sebagai berikut :

  1. Meskipun GBI memandang disorientasi seksual LGBT adalah dosa dan meyakini bahwa kuasa Yesus dan pekerjaan Roh Kudus mampu mentransformasi dosa tersebut (sama juga bagi masalah-masalah seksual lainnya pada kaum heteroseksual), GBI menghimbau dan menyerukan suatu sikap yang penuh empati kepada kaum LGBT. Sama seperti Yesus yang memiliki sikap yang tidak kompromi terhadap dosa, namun pada waktu yang sama pula, Yesus menaruh keberpihakan pastoral kepada orang-orang yang sakit, dan termajinalkan. Yesus membenci dosa, namun mengasihi orang berdosa. Wujud kasih gereja kepada kaum homoseks bukan dengan memandang perilaku itu legal berdasarkan hak azasi manusia, namun justru harus menolong mereka keluar dari perbuatan dosa itu, sesuai I Kor.6:9-11 “…banci, orang pemburit…tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Dan beberapa orang diantara kamu demikianlah dahulu. Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita.”
  2. Dengan keyakinan bahwa kuasa Yesus dan Roh Kudus mampu memulihkan persoalan-persoalan manusia (seksual, emosional, fisik, dll) gereja harus tak henti-hentinya memberikan pertolongan, medis dan lainnya untuk penderita LGBT. Untuk itu, gereja diharapkan dapat bermitra dengan lembaga-lembaga yang secara khusus dimaksudkan untuk melayani kaum LGBT. Gereja bukan hanya mendoakan dan melayani secara konseling dengan sikap yang empati namun menaruh harapan optimis kepada anugerah Allah yang memulihkan.
  3. Gereja diharapkan menjadi tempat yang bersahabat dengan kaum LGBT dan menjadi wadah yang dapat menolong kaum LGBT menemukan tempat positif mereka bertumbuh di dalam petumbuhan iman. Karena menurut teori psikologi sosial bahwa prilaku seeorang dapat terbentuk akibat lingkungan (social leaning theory) dan secara terus menerus terjadi penguatan (re-enforcement). Maka dengan kegiatan-kegiatan rohani yang khusus bagi kaum LGBT diharapkan ada penguatan nilai-nilai yang baru (rohani).
  4. Gereja seharusnya tak melibatkan kaum LGBT di dalam pelayanan-pelayanan mimbar gerejani seperti pelayanan firman, pemimpin pujian, singers dan pelayanan-perjamuan kudus dan pelayanan sekolah minggu, dalam kemajelisan dan lain-lainnya.
  5. Dalam kasus gereja yang memiliki divisi pelayanan dan ibadah kaum waria, mereka dapat melayani komunitas mereka, dengan asumsi bahwa mereka tidak mempraktekkan perbuatan seksual sesama jenis (hal ini sama diberlakukan bagi kaum heteroseksual) yang melakukan praktek seksual diluar pernikahan).

3.    Kaum LGBT dalam kaitan Kepejabatan GBI

GBI menolak mentahbiskan kaum LGBT menjadi pejabat di lingkungan sinode GBI baik sebagai Pdp, Pdm, Pdt.

 

Demikian keputusan ini dibuat

Dirumuskan di kantor BPH GBI, Graha Bethel, Jakarta, tanggal: 30 Juni 2015

Tim Perumus :
Pdt. Dr. Japarlin Marbun (Ketum BPH GBI),
Pdt. Dr. Rubin Adi Abraham (Ketua Teologi dan Pendidikan BPH GBI)
Pdt. Hengky So, S.Th (Ketua Departemen Teologi GBI)
Pdt. Dr. Junifrius Gultom (Sekretaris Departemen Teologi GBI)
Pdt. Dr. Jonathan Trisna (Ketua Biro Ajaran GBI).

 

Disadur dari : http://www.bpdgbidki.com/index.php/107-sikap-gereja-bethel-indonesia-terhadap-isu-pernikahan-sesama-jenis-dan-isu-lgbt-lesbi-gay-bi-sexual-transgender

Silakan share :