RENUNGAN KHUSUS
INJIL DAN HUKUM TAURAT (Part 1)
Tulisan ini memiliki tujuan untuk memahami hubungan antara kedua karya Allah yang luar biasa yaitu Hukum Taurat dan Injil. Walaupun sebagian orang secara pragmatis mungkin tergoda untuk memisahkan kedua hal tersebut berdasarkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, faktanya kedua hal ini saling berkaitan lebih dalam dari yang kita pikirkan.
HUKUM, HUKUM TAURAT DAN KITAB HUKUM
Kata ‘hukum’ sendiri memiliki banyak sekali makna dan konotasi dalam hidup sehari-hari. Tentu kata ‘hukum’ ini sendiri juga banyak digunakan di dalam Alkitab baik dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Istilah “hukum” dalam Kitab Suci memiliki beberapa makna:[1]
- Dapat merujuk pada “hukum-hukum” dalam bentuk jamak, yaitu lebih dari 600 perintah khusus yang harus dipatuhi oleh orang Israel sebagai tanda kesetiaan mereka kepada Allah. (Contoh: Keluaran 18:20)
- Dalam bentuk tunggal, istilah ini dapat menunjukkan hukum-hukum tersebut sebagai suatu keseluruhan. (Contoh: Matius 5:18)
- Dapat merujuk pada Pentateukh (Kitab Kejadian hingga Ulangan) sebagai “Kitab Hukum”. (Contoh: Yosua 1:8)
- Dalam Perjanjian Baru, istilah ini kadang-kadang berarti seluruh sistem keagamaan Perjanjian Lama. (Contoh: 1 Korintus 9:20)
- Dapat juga merujuk pada hukum Perjanjian Lama sebagaimana ditafsirkan oleh para rabi, khususnya dalam Perjanjian Baru (Contoh: Petrus dalam Kisah Para Rasul 10:28)
Setidaknya di dalam artikel ini kita akan berbicara banyak mengenai penggunaan kata ‘hukum’ berdasarkan poin No.1 dan 2 di atas, yaitu hukum yang diberikan oleh Allah kepada bangsa Israel yang dikenal sebagai ke-10 Hukum Taurat dan ke-600 lebih turunannya, serta hubungan antara hukum-hukum tersebut sebagai suatu kesatuan dengan iman Kristen.
Saat kita perhatikan lebih lagi, ada banyak penggunaan kata ‘hukum’ di dalam Alkitab tetapi yang paling umum adalah sebutan Dekalog atau ke-10 hukum Taurat/perintah Allah.[2] Mari kita berfokus kepada 10 Hukum Taurat yang diberikan Allah kepada Musa dan orang Israel. (Keluaran 20)
Secara sederhana, hukum Taurat adalah standar moral Allah yang telah diwahyukan secara khusus kepada manusia. Hukum ini menunjukkan perilaku seperti apa yang berkenan kepada Allah dan yang tidak. Karena kalau Allah tidak mewahyukan dan menyatakan sikap-sikap dan perilaku apa yang berkenan kepada-Nya, maka manusia akan sangat terbatas dalam usahanya untuk berkenan kepada Allah. Ini disebut pewahyuan khusus, dimana Allah mewahyukan karakter, kehendak, dan perintah-perintah-Nya secara langsung kepada manusia.
HUKUM TAURAT
- Motif Pemberian Hukum Taurat
Hukum Taurat yang diberikan Allah kepada Musa di gunung Sinai bukanlah sebuah titik awal perjanjian antara Allah dengan manusia. Kita perlu melihat konteks dari pemberian hukum ini sebagai kelanjutan dari perjanjian yang Allah ikat dengan Abraham sebelumnya.
Di dalam Keluaran 19:5 dikatakan,
“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku…”
Perjanjian yang manakah yang dimaksud oleh Allah disini? Ini adalah Perjanjian Allah kepada Abraham, dimana atas dasar perjanjian itu pula Allah mendengar teriakan bangsa Israel ketika mereka diperbudak dengan keras oleh Mesir. (Keluaran 2:24)
Perjanjian dengan Abraham ini diingat kembali oleh Allah kepada bangsa Israel dalam Keluaran 6:4,
“tetapi Aku sudah mendengar juga erang orang Israel yang telah diperbudak oleh orang Mesir, dan Aku ingat kepada perjanjian-Ku.”
Dan lewat perjanjian ini Allah menyatakan kasih setia-Nya dengan membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Karena itu, sebelum Allah memberikan 10 perintah-Nya, Dia berkata:
“Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku.”
Keluaran 19:4
Ini adalah sebuah pernyataan penuh kasih karunia.
Perhatikan susunan dari undangan Allah kepada bangsa Israel dalam Keluaran 19:4-6:
- Ayat 4 (berbicara mengenai masa lalu—apa yang telah Allah lakukan): “Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir…”
- Ayat 5 (berbicara masa sekarang – sebuah panggilan untuk meresponi pertolongan Allah): “Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku…”
- Ayat 6 (berbicara masa depan—sebuah janji bagi umat pilihan-Nya): “Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus…”
Melihat ke masa lalu, pemberian hukum ini mengakar dalam hubungan pribadi antara Allah dan umat-Nya berdasarkan apa yang telah Allah lakukan bagi mereka melalui anugerah penyelamatan-Nya.
Melihat ke masa depan, pemberian hukum ini menjelaskan identitas dan peran yang akan dimiliki umat Allah di tengah-tengah bangsa-bangsa di bumi, menempatkan mereka dengan tegas dalam kisah misi Allah bagi umat manusia dan ciptaan-Nya.
Dan, melihat ke masa kini, pemberian hukum mengajak umat Allah untuk merespons secara tepat terhadap kedua hal di atas (tindakan masa lalu dan tujuan masa depan Allah) melalui ketaatan dalam menjaga perjanjian itu.[3] Kita akan melihat pola ini berulang-ulang sampai kepada Perjanjian Baru. Bisakah kita lihat bahwa motif Allah memberikan hukum itu adalah karena Ia mengasihi bangsa Israel? Bisa. Bahkan kasih Allah ini terlihat jelas di dalam Ulangan 7:7-8 dimana tertulis:
“Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu–bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa? — tetapi karena TUHAN mengasihi kamu dan memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyangmu.”
Kita melihat betapa nuansa anugerah dan kasih karunia itu sudah ada dalam Perjanjian Lama. Perhatikan undangan untuk umat Israel mendekat kepada Allah dalam Keluaran 19 adalah karya keselamatan yang Allah lakukan kepada mereka. Kembali kita melihat ini dalam kalimat pembuka dari pemberian hukum dalam Keluaran 20:2,
“Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.”
Kalimat pembuka di atas mendasarkan hubungan perjanjian dan semua hukumnya pada fakta historis dari karya penebusan Allah.
Struktur kitab Keluaran mencerminkan teologi fundamental yang dirangkum dalam ayat-ayat ini: Injil mendahului hukum, dan ini menjadi satu-satunya dasar dan motivasi yang baik untuk respons ketaatan dari umat-Nya. Kenapa Injil disebut mendahului hukum?
Karena Injil berbicara apa yang telah Yesus lakukan bagi kita—dan hal ini ternyata sudah tersirat dalam pemberian hukum. Allah menyatakan terlebih dahulu apa yang telah Dia lakukan, barulah Dia menyatakan hukum-hukum-Nya. Sehingga kalau kita membaca di dalam Ulangan 7:7-8, maka anugerahlah yang menjadi motif utama pemilihan Israel. Karena anugerah Allah, Dia memilih bangsa Israel dan mengingatkan hal-hal besar yang dilakukan-Nya bagi mereka. Setiap perintah dan hukum yang mengalir dari pasal ini (pasal 12-26) berarti mengalir keluar dari hubungan anugerah antara Allah dengan bangsa Israel.
Perhatikan bahwa mereka tidak diselamatkan untuk dijadikan bangsa pilihan, mereka sudah menjadi umat kesayangan Allah—karenanya mereka diharapkan tetap hidup dengan identitas itu. Mereka tidak diselamatkan dari Mesir karena “usahanya”, tetapi semata karena kasih karunia Allah.[4]
- Natur Dari Hukum Taurat
Kalau kita berbicara mengenai hukum Taurat, maka umumnya itu merujuk kepada standar moral Allah yang absolut yang diwahyukan dalam bentuk 10 perintah Allah.
John Bunyan penulis terkenal dari Pilgrim’s Progress mengatakan:
“The man who does not know the nature of the law cannot know the nature of sin. And he who does not know the nature of sin cannot know the nature of the Savior.”[5]
Pembahasan mengenai natur hukum penting, karena kalau seseorang tidak mengerti tabiat dan hakekat 10 perintah Allah sehubungan dengan Sang Pemberi Hukum yaitu Allah sendiri, maka mereka akan kesulitan di dalam menghubungkan hukum dengan Injil dalam Perjanjian Baru.
Umumnya ada 3 (tiga) pandangan terkait dengan relasi antara 10 perintah Allah dengan Allah sendiri:[6]
- Otoritas Allah Ada di Atas Hukum-Nya
Seringkali ini adalah pandangan yang umum diambil oleh orang banyak. Karena Allah yang memberikan hukum, maka otoritas Allah memiliki tempat lebih tinggi di atas perintah-perintah-Nya. Kalau kita mengacu pada pemahaman ini, maka apa yang menjadikan hukum itu baik dan berkuasa bergantung pada kemampuan Allah untuk menegakkan ketetapan moral. Hukum itu patut ditaati hanya karena Allah yang memerintahnya. Pandangan ini kelihatannya baik di awal untuk membela doktrin kedaulatan Allah dan membatasi kebebasan umat manusia, tetapi pandangan ini juga memiliki kelemahan.
Kalau pandangan ini benar, maka hukum atau perintah itu sendiri menjadi tidak memiliki kuasa apa-apa; Allah dapat memberikan perintah yang berbeda dari yang sekarang kita miliki dan hukum itu akan dipandang benar. Rae menjelaskan “kalau hukum itu baik hanya karena Allah yang memerintahkannya, maka kalau Allah sekarang secara hipotetikal, memberikan perintah untuk kita menyiksa bayi-bayi, maka hal itu akan dipandang baik karena Dia memerintahkan-Nya”.[7] Apakah Saudara mau mempercayai Allah seperti ini? Saudara lihat kelemahan dari pandangan ini? Kalau ini benar, maka Allah sewaktu-waktu dapat mengubah, menambah, atau mengurangi perintah-Nya kapanpun—karena Allah yang memiliki otoritas terhadap perintah-Nya.
Pandangan ini tidak bisa menjelaskan mengapa Yesus harus meninggal secara mengerikan di atas kayu salib untuk menanggung dosa manusia. Pertanyaan yang kerap ditanyakan orang awam adalah “kenapa Yesus harus mati sedemikian kejam di atas kayu salib? Kalau Allah betul-betul berkuasa, seharusnya Dia bisa saja memerintah untuk dosa manusia dihapuskan tanpa perlu Anak-Nya mati secara tragis bukan?”[8]
Kalau kita renungkan, maka alasan dari pertanyaan ini adalah anggapan dimana Allah itu jauh lebih berkuasa dari hukum-hukum-Nya. Masalah utama manusia adalah dosa karena melanggar hukum-hukum-Nya, jadi seharusnya Allah yang berotoritas bisa memberikan perintah baru bukan? Ternyata tidak bisa—karena kalau ini benar, maka korban penebusan Kristus menjadi tidak perlu (Matius 26:39; Markus 14:36; Galatia 3:21).
- Hukum Allah Ada di Atas Otoritas-Nya
Sebaliknya, pandangan ini menyatakan bahwa hukum-hukum yang diberikan oleh Allah sudah baik dan benar dari awalnya. Hukum-hukum ini berdiri secara kekal dan ada di luar Allah. Menurut paradigma ini Allah sendiri harus tunduk pada hukum-hukum-Nya karena hukum itu sudah ada sejak kekekalan dan sebelum Allah. Allah hanya memberitahukan saja kepada Musa apa saja hukum-hukum yang baik dan benar itu.
Tentu salah satu kelemahan yang paling terlihat dari pemahaman ini adalah kedaulatan Allah menjadi terlihat inferior dibanding hukum-hukum-Nya. Kalau hukum-hukum itu sudah ada sebelum Allah, maka ketika Daud bermazmur “Betapa kucintai Taurat-Mu!”(Mazmur 119:97)—yang Daud cintai dan kasihi hanyalah hukum-hukum yang memang dari awalnya sudah baik, tetapi tidak ada koneksi/ hubungan kepada Allah itu sendiri. Pandangan ini tentu bertabrakan dengan pemahaman Alkitab dimana kebaikan Allah itu dinyatakan bersamaan dengan hukum-Nya (Mazmur 119:68; Matius 19:17).
Pandangan ini juga tidak akan bisa menjelaskan karya penebusan Kristus di atas kayu salib. Kalau hukum itu ada sebelum Allah dan lebih berkuasa dibanding Allah, maka sejatinya Yesuspun tidak akan bisa menggantikan manusia menjadi korban untuk menghapus dosa-dosa manusia. Ketika Yesus mati menggantikan manusia, maka di mata hukum itu akan menjadi sebuah pelanggaran yang dimana Allah sendiri terikat di bawah hukum tersebut.
- Hukum Allah itu Sejajar Dengan Otoritas-Nya
Paradigma ini menyatakan bahwa ke-10 perintah Allah itu baik dan benar karena itu merefleksikan dan menyatakan karakter dan moralitas Allah itu sendiri yang adalah baik dan benar. Hal ini terlihat jelas di dalam tulisan Paulus yaitu Roma 1:19-20 yang menyatakan:
“Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.”
Paulus mengatakan bahwa semua manusia tidak dapat berdalih, bahwa mereka semua adalah fasik dan lalim. Orang-orang yang tidak tahu mengenai Allah dan belum lahir baru itu bersalah karena kebenaran Allah itu dinyatakan dari karya-Nya dan ciptaan-Nya. Hukum-hukum itu termasuk karya-Nya yang adalah refleksi karakter Allah yang tidak terlihat, karenanya bagi mereka yang belum mendengar kabar Injil dan tidak pernah mendengar hukum moral yang tertulis,
“Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri.” Roma 2:14
Secara sederhana, karena hukum adalah pantulan dari karakter Allah yang benar itu, maka penolakan terhadap karakter Allah adalah penolakan terhadap hukum-Nya.
Pandangan ini bisa menjelaskan konsep penebusan Kristus. Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah (1 Yohanes 3:4), dan hukum Allah itu adalah cerminan dari karakter/natur Allah itu sendiri, maka Allah sendiri pula yang dapat mengadakan tebusan bagi dosa umat manusia. Ketika manusia berdosa, hukum itu dilanggar, dan itu juga melanggar karakter Allah. Sisi keadilan Allah tidak dapat menolerir dosa manusia, tetapi sisi belas kasihan dan anugerah Allah bisa menebus dosa manusia dengan jalan diri-Nya sendiri menjadi dosa karena kita. (2 Korintus 5:21)
Seperti penulis Ibrani mengatakan:
“Itulah sebabnya, maka dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa.”
Karena manusia sudah berdosa, maka satu-satunya jalan adalah Allah sendiri yang harus menyediakan korban penebusan untuk menyelamatkan manusia. (Kisah Para Rasul 4:12)
Pemahaman bahwa hukum-hukum Allah itu sejajar dengan karakter/tabiat dan natur Allah sangat krusial (walaupun secara ontologis kita dapat memisahkan keduanya), sehingga ketika manusia berdosa terhadap perintah-Nya, dia tidak hanya berdosa kepada hukum itu sendiri, tetapi dia berdosa juga kepada Allah karena hukum-Nya merefleksikan karakter Allah.
Contoh sederhana ini bisa kita lihat ketika Daud melanggar perintah Allah ketika mengambil Batsheba dan membunuh Uria. Daud berkata:
“Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku… terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa.”
Mazmur 51:5-6
Daud melanggar perintah Allah, tetapi dia menyatakan keberdosaannya juga terhadap Allah. Kenapa? Karena perintah Allah merefleksikan kekudusan Allah. Perintah Allah itu kudus dan kekal karena Allah itu kudus dan kekal.
ESENSI DARI HUKUM MORAL ALLAH
Sampai sini kita memahami bahwa hukum moral Allah yang diberikan kepada Musa itu adalah refleksi atau cerminan dari karakter Allah yang kekal dan kudus. Karena Allah itu kekal, maka hukum-hukum-Nya pun juga kekal. Tetapi bagaimana menjelaskan ayat seperti:
“Hukum Taurat dan kitab para nabi berlaku sampai kepada zaman Yohanes”
Yohanes 16:16a
Apakah berarti sekarang umat Kristen sudah tidak perlu lagi mengkotbahkan Perjanjian Lama dan Hukum Taurat sudah tidak perlu dibaca lagi? Tentu tidak sesederhana itu. Kutipan terkenal dari Martin Luther mengenai ini sungguh benar:
“He who knows how to distinguish gospel from law should thank God and know that he is a theologian.”
Luther berkata membedakan antara Injil dengan hukum itu pekerjaan yang sulit dan orang yang berhasil melakukannya adalah seorang teolog!
Dari awal kita menggunakan kata-kata hukum moral untuk menggambarkan 10 perintah Allah atau Dekalog, tetapi dalam kenyataannya terdapat lebih dari 600 hukum-hukum di dalam Perjanjian Lama dan sejak lama umat Protestan membagi menjadi 3 (tiga) kategori untuk memudahkan penjelasannya, yaitu:
1. Hukum Seremonial
Hukum seremonial atau disebut juga hukum relijius atau hukum ritual. Hukum-hukum ini diberikan untuk mengatur sistem korban yang ada di dalam Bait Suci termasuk operasional dari para imam, hari-hari perayaan, aturan korban, dan larangan makanan.[9]
Hukum seremonial ini diciptakan untuk mengajarkan kepada manusia bahwa Allah itu kudus, dan manusia itu tidak kudus dan berdosa, serta penebusan sepenuhnya memiliki syarat dan kondisi dari Tuhan. Kita memahami sekarang bahwa hukum-hukum seremonial ini adalah bayangan dari karya penebusan Kristus di kayu salib.
Perjanjian Baru mengajarkan bahwa Yesus menggenapi hukum seremonial – bukan menghilangkannya. Bahkan pada saat kehidupannya Yesus menaati hukum seremonial (Yohanes 1:29, 36; 1 Korintus 5:7; Kolose 2:16-17).
2. Hukum Sipil
Hukum sipil diberikan untuk mengatur bangsa Ibrani yang bersifat teokrasi. Kata-kata yang mirip dengan hukum sipil adalah hukum judisial, hukum adat, atau hukum kasuistik. Seperti hukum sipil modern, hukum sipil dalam Perjanjian Lama berlaku untuk waktu dan tempat tertentu dalam budaya tertentu.
Hukum sipil bisa juga dikatakan sebagai hukum moral yang tertulis. Contohnya adalah:
“Siapa yang memukul ayahnya atau ibunya, pastilah ia dihukum mati.”
Keluaran 21:15
Ini adalah turunan daripada hukum moral dan aplikasi budaya saat itu terhadap perintah Menghormati Orang Tua.
Keluaran 20:12
Jadi kalau kita mempraktikkan hukuman mati kepada setiap anak-anak yang berontak dan memukuli orang tuanya, itu adalah sebuah kesalahan dalam menafsirkan hukum Tuhan.
Meskipun tuntutan moral Allah tidak berubah (hormatilah orang tua), tetapi aplikasinya (penalti terhadap pelanggaran hukumnya) berubah. Sehingga hukum-hukum sipil pada konteks zaman modern sudah berubah, yaitu mengikuti budaya dan pemerintahan setempat.
3. Hukum Moral
Hukum moral umumnya adalah tentang apa yang ada di benak teolog ketika berbicara mengenai Hukum Taurat. Hukum moral memiliki beberapa nama seperti hukum apodiktik, hukum internal, hukum natural, atau perintah Allah.[10]
Hukum ini merefleksikan karakter dan moral Allah itu sendiri, karenanya manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, memiliki hukum-hukum moral yang tertulis dalam hatinya juga dan tidak berubah. (Roma 2:14-15)
Karena hukum-hukum moral ini merefleksikan karakter Allah, maka ini sudah ada sebelum penciptaan dan sebelum peristiwa gunung Sinai.
TIGA FUNGSI HUKUM MORAL
Hukum moral ini memiliki fungsi-fungsi berikut:
- Mengekang Orang Melakukan Dosa
Setelah Allah memberikan hukum-Nya kepada Musa, Musa berkata kepada Israel:
“Allah telah datang dengan maksud untuk mencoba kamu dan dengan maksud supaya takut akan Dia ada padamu, agar kamu jangan berbuat dosa.”
Keluaran 20:20
Senada dengan ini, Paulus berkata dalam Galatia 3:19,
“Apakah maksudnya hukum Taurat? Ia ditambahkan oleh karena pelanggaran-pelanggaran…”
Hukum diberikan agar manusia tahu batasan-batasan dalam kehidupan.
- Menghakimi Orang akan Dosa
Ini seringkali dimaknai sebagai fungsi teologis dari hukum adalah untuk menyadarkan seseorang akan dosa-dosanya. Bagaimana seseorang tahu dia berdosa kalau dia tidak tahu ada hukum yang dilanggar? (Roma 3:20; 4:15; 5:20; 2 Korintus 3:7)
Hukum disini bertindak sebagai cerminan kepada manusia; betapa dirinya berdosa di hadapan Allah yang kudus dan manusia tidak mampu mencapai standad kekudusan Tuhan. Tujuan kedua ini untuk membawa manusia kepada kehancuran dirinya dan mengarahkannya kepada kebutuhan akan Kristus sang Juruselamat itu. (Galatia 3:24)
- Mengajar Orang untuk Hidup Benar
Ini disebut sebagai fungsi normatif atau pedagogi. Dalam hal ini, Hukum Moral Allah dilihat sebagai pelita yang menerangi langkah kaki seseorang untuk berjalan dalam jalan kekudusan dan kebenaran. Jadi ketika seseorang telah dibawa kepada kebobrokan dosanya dan dia menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya, maka anugerah yang sama akan kembali membawa dia kepada hukum-hukum-Nya agar orang percaya tahu bagaimana cara hidup yang berkenan kepada Allah. (Mazmur 119; Roma 3:31; 7:12, 14; 8:1-4).
Penting untuk orang percaya bisa memilah ketika ada yang berbicara mengenai Hukum Taurat, sejatinya bagian manakah yang hendak dibahas oleh ayat tersebut: apakah hukum seremonial, sipil, atau moral?
(bersambung…)
Sumber: Warta Pusat HMMinistry
[1] Gordon Fee, How to Read the Bible for All Its Worth,
[2] Ke-10 hukum ini diberikan oleh Allah sebanyak 2 kali (Kel. 31:18; 34:28) dan ditulis sebanyak dua kali dalam Pentateukh (Kel. 20:1-17; Ul. 5:6-21).
[3] Christopher J. Wright, The Story of God Bible Commentary: Exodus, 2021.
[4] Hetty Lalleman, Celebrating the Law? Rethinking Old Testament Ethics, (Paternoster: UK, 2016).
[5] Bunyan, John. (2005). The Pilgrim’s Progress. Penguin Classics. (Original work published 1678)
[6] David W. Jones, An Introduction to Biblical Ethics, 40-45.
[7] Scott B. Rae, Moral Choices: An Introduction to Ethics Fourth Edition, 92.
[8] Jones, Biblical Ethics, 44.
[9] Jones, Biblical Ethics, 57. Contoh hukum seremonial seperti dalam Imamat 11:1-47; Ul. 14:3-21 mengenai makanan yang kudus dan tidak kudus. Di dalam Perjanjian Baru, khususnya di Kis. 10:10-16, binatang yang najis diberikan label tidak najis atau boleh dimakan akibat karya Kristus di kayu salib.
[10] Bacaan lebih lanjut terkait keberatan ini silahkan baca Roy E. Gane, Old Testament Law for Christians: Original Context and Enduring Application, (Grand Rapids, Michigan: Baker Academics, 2017); John Calvin, Institutes of the Christian Religion. “Applying the Old Testament Law Today,” BSac 158 (2001).